Beberapa waktu lalu, aku membeli sebuah lampu TL dengan merek philips di sebuah toko eletronik di deket appartmen tempatku tinggal.
Lampu TL (Tubular lamp) adalah sejenis lampu berisi gas (uap raksa bertekanan rendah) berbentuk tabung yang pada ujung-ujung kaki lampu tsb dipasang elektroda berupa lilitan kawat pijar yang akan menyala bila dialiri listrik.
Narasumber : OB appartment mia yg kuliah di jurusan listrik
Aku sengaja memilih lampu merek ini karena reputasi dan kualitas mereknya yang telah mendoktrin otakku dengan kalimat “Lampu Philips tuh tahan lama”, “Garansi Lampu Philips tuh bagus banget..”, “Pake Philips aja.. lebih hemat..” dan beberapa doktrin positif lainnya.
Memang sih, aku akuin sendiri. Lampu dengan merek philips memang sudah sangat terkenal di seantero pelosok negeri. Bokap mia dirumah atau hubby mia di proyek juga selalu menggunakan lampu dengan merek ini. Entah karena memang kualitasnya yang bagus atau karena faktor lain.
Ada satu lagi alesan yang bisa digunakan konsumen ketika memilih Philip sebagai merek lampu penerangannya. Prestige.
Yup. Rasa bangga. Bangga karena menggunakan merek terkenal, bangga karena menggunakan produk yang memiliki harga relatif mahal, bangga karena menggunakan produk yang juga digunakan oleh bangunan-bangunan mewah. Itulah yang salah satu alesan konsumen memilih merek Philip daripada merek lain.
Namun, semua itu tak berlaku bagiku. Karena setelah kejadian beberapa waktu lalu, aku sedikit merubah pola pikir dan cara berpandangku mengenai apresiasi sebuah merek.